Lima tahun sudah berlalu sejak kekacauan inflasi ini dimulai, dan tekanan yang dirasakan belum juga mereda. Rumah tangga berpenghasilan menengah sudah kelelahan—belanja kebutuhan pokok masih saja menguras gaji, sewa terus naik tanpa henti, dan janji bantuan? Tidak ada tanda-tanda kehadirannya.

Masih ingat saat semua orang bilang harga akan kembali normal begitu rantai pasokan pulih? Narasi itu kini terasa usang. Memang, inflasi utama sudah mulai mendingin, tapi biaya inti—perumahan, makanan, energi—tetap tinggi dan enggan turun. Erosi daya beli paling terasa bagi mereka yang tidak punya portofolio aset untuk melindungi diri dari penurunan nilai mata uang.

Yang membuat frustrasi bukan hanya angka-angkanya. Tapi juga jarak antara optimisme resmi dan kenyataan yang dialami sehari-hari. Kebijakan terus berubah, namun dompet terasa makin tipis setiap kuartal. Bagi keluarga yang harus menyeimbangkan tagihan tanpa keuntungan investasi yang signifikan, ini bukan sekadar siklus ekonomi abstrak—melainkan perjuangan berat yang dijalani setiap hari.

Bukankah tujuan semua intervensi ini untuk mengembalikan keterjangkauan? Sebaliknya, kita malah terjebak dalam pola menunggu di mana upah tertinggal, tabungan tergerus, dan garis akhir semakin menjauh. Tak heran jika kelelahan mulai dirasakan.